JAKARTA, Pilarnesia.com — Pemerintah merencanakan akan menghapus tenaga honorer di semua instansi pada tahun 2023. Kebijakan tersebut sebagaimana tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang diatur dalam pasal 8, bahwa pegawai pemerintah secara jelas telah dilarang untuk merekrut tenaga honorer. Hal itu juga termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau PP Manajemen PPPK. Diatur pada Pasal 96, pegawai pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-PNS atau tenaga honorer untuk mengisi jabatan ASN. Oleh karena itu, pemerintah akan diberi kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan mengenai tenaga honorer hingga 2023.
Secara umum terdapat 2 juta tenaga honorer di Indonesia. Di sektor Kesehatan terdapat ±150.000 tenaga Kesehatan yang terdiri dokter, Perawat, Bidan dan Apoteker. Menurut APKESMI (Asosiasi Puskesmas Indonesia) 70% adalah tenaga kerja di Puskesmas saat ini adalah Honorer (non ASN) artinya, mereka adalah tenaga Kesehatan yang terancam di pecat atau diberhentikan tahun 2023 jika belum berhasil beralih status sebagai ASN atau tenaga P3K.
Selama dua tahun terakhir, tenaga honorer merupakan mayoritas tenaga yang berada pada garda terdepan untuk berjuang menghadapi musuh yang tidak terlihat/ maut, mereka rela mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menolong rakyat yang terpapar pandemi covid-19. Dengan peralatan dan APD seadanya mereka berjuang sekuat tenaga bahkan mereka menjadi korban keganasan virus Covid-19. Data yang disampaikan oleh Sekjen Kementerian Kesehatan RI bahwa terdapat 1.967 orang tenaga Kesehatan yang gugur dalam perjuangan menyelamatkan rakyat dan bangsa dari pandemi virus covid-19. Indonesia masuk dalam 4 besar negara di dunia yang berhasil dalam menangani pandemi covid-19. Tanpa kerja keras dan dedikasi dari para tenaga kesehatan ini tentu saja prestasi ini sulit untuk diraih dan saat ini pemerintah bahkan telah mengumumkan kelonggaran bagi masyarkat untuk dapat beraktifitas diruang publik dengan sedikit leluasa serta level pandemi covid-19 diturunkan ke level endemik. Tentu saja ini merupakan masalah serius yang harus dipikirkan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memperjuang nasib tenaga Kesehatan yang honorer beralih status menjadi ASN atau P3K.
Tantangan yang dihadapi.
Pemerintah telah memperlihatkan keberpihakan kepada para tenaga honorer agar mereka dapat memperoleh penghasilan serta kehidupan ekonomi yang lebih baik melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Sejak terbitnya peraturan ini hingga tahun 2021 beberapa masalah muncul, sehingga tujuan pemerintah dalam penerbitan kedua Peraturan Pemerintah diatas menghadapi kendala dan menimbulkan masalah baru di masyarakat khususnya tenaga Kesehatan honorer diantaranya:
- Terbitnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), reformasi belanja yang berkualitas diwujudkan melalui upaya penguatan desentralisasi fiskal dengan mendorong pengalokasian sumber daya nasional secara efektif dan efisien yaitu melalui hubungan antara keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat yang adil dan Makmur. Pada Undang Undang ini Pemerintah Pusat Membatasi Belanja Pegawai sebesar 30% dari APBD.
- Permenkes 17 Tahun 2013 Tentang Ijin dan penyelengaraan Praktik Perawat yang wajib dimiliki oleh Tenaga Honorer Perawat yang mau diangkat atau alih status sebagai ASN dan atau P3K. Kebijakan dan kesenjangan yang aktual terjadi.
Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah membatasi Belanja Pegawai yang bersumber dari APBD yaitu hanya 30 %, sehingga para Kepala Daerah sangat sulit untuk menyiapkan formasi bagi para tenaga honorer karena berkaitan dengan alokasi anggaran yang tersedia untuk gaji dan tunjangan lainnya, bila tenaga honorer direkrut sebagai ASN atau P3K akan menambah beban belanja pegawai melebihi batas yang telah ditentukan oleh Undang Undang, karena Pemerintah Daerah bisa terkena hukuman atau denda.
Pemerintah telah melakukan blunder dalam kebijakan penghapusan tenaga honorer dengan membuat aturan dan Undang-Undang yang terlihat tumpang tindih dan saling bertabrakan dalam semangat pembangunan bangsa, mengapa demikian? Sebab disini kami melihat bahwa adanya ketidakharmonisan atau tidak sejalan antara Undang Undang dan Peraturan Pemerintah. Sesuai dengan norma hukum dan aturan dalam perundang-undangan yang berlaku dinegara kita, jika Peraturan Pemerintah bertabrakan dengan Undang Undang otomatis Peraturan Pemerintah tersebut batal dan gugur demi hukum karena kedudukan Undang Undang berada diatas Peraturan Pemerintah.
Dengan melihat kondisi diatas sangat nyata bahwa masalah penyusunan peraturan perundang undangan dinegara kita belum terbangun dalam suatau sistem yang saling terintegrasi sehingga dapat menghindari tumpang tindih dalam kebijakan publik yang diputuskan oleh pemerintah.
Kemudian berkaitan dengan Peraturan Pemerintah tentang Ijin Penyelenggaraan Praktek tenaga Perawat yang mewajibkan para Tenaga Perawat harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) memiliki semangat dan tujuan yang baik dimana untuk meningkatkan kualitas dan mutu layanan kepada pasien atau masyarakat serta standar pelayanan yang prima sesuai dengan Undang Undang.
Pada sisi yang lain penerapan kewajiban untuk memiliki STR ini menimbulkan semacam tekanan bagi perawat khususnya di Indonesia timur. Cara pembuatan STR yang bersifat online yang belum banyak di sosialisasikan, membuat banyak tenaga perawat yang sulit untuk mengakses, apalagi di daerah-daerah terpencil. Para tenaga honorer yang hari ini masih bekerja dipaksakan untuk memiliki STR sementara mereka telah mengabdikan diri mereka dan melayani puluhan tahun. Tenaga honorer yang sekarang misalnya usianya diatas 40 tahun dipaksakan untuk bersaing dengan mereka yang fresh Graduatetentu sangat sulit, lalu jika mereka belum memiliki STR apakah berarti meraka kurang pengetahuan atau ilmu dan pengalaman dalam pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien? Tentu saja tidak demikian sebab teori di bangku pendidikan tidak selalu sesuai dengan realita pelayanan di lapangan. Apalagi jika melihat realita bahwa mayoritas tenaga Kesehatan dilapangan adalah honorer maka dapat kita bayangkan bahwa jika kebijakan STR ini tidak di evaluasi melalui revisi dan kebijakan dari pemerintah maka pada tahun 2023 akan terdapat kekurangan tenaga kesehatan yang sangat besar asumsinya jika jumlah nakes saat ini adalah 150.000 orang maka menurut APKESMI 65% adalah honorer maka akan ada pengangguran baru ditahun 2023 sebanyak 97.500 tenaga kesehatan yang menjadi pengangguran baru, apalagi dengan melihat fakta dilapangan bahwa di Indonesia masih terdapat kekurangan tenaga kesehatan jika mengacu pada standar WHO atau Standar Kesehatan di Asia.
Setelah melihat sederet persoalan yang terjadi dalam penerbitan Undang Undang diatas, ada beberapa rekomendasi kepada pemerintah
- Diperlukan Badan Sinkronisasi Pembentukan Undang Undang sehingga produk regulasi dan peraturan perundang undangan yang dihasilkan tidak saling bertolak belakang atau tidak produktif.
- Untuk menyiasati Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) yang membatasi Belanja Pegawai Daerah sebesar 30%, maka Pemerintah pusat perlu mendukung para Kepala Daerah dalam pembiayaan khususnya terkait alih fungsi tenaga kesehatan sebagai ASN/ P3K melalui APBN.
- STR sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh tenaga honorer untuk alih fungsi sebagai ASN atau tenaga P3K perlu mempertimbangkan faktor usia serta lamanya waktu mengabdi sehingga ada kebijakan yang adil dan berpihak kepada para tenaga honorer yang telah puluhan tahun mengabdikan diri kepada rakyat, terutama mempertimbangkan jasa mereka selama dua tahun belakangan ini sebagai garda terdepan atau pahlawan dalam memerangi ancaman pandemi covid-19 yang telah merenggut ratusan ribu nyawa rakyat Indonesia termasuk hampir 2000 tenaga kesehatan yang telah gugur dalam tugas dan pengabdiannya semasa pandemi.
Para Tenaga Nakes khususnya perawat telah berupaya meningkatkan kemampuan serta kompetensi diri dengan berbagai standarisasi sesuai undang-undang oleh sebab itu diharapkan agar kiranya usaha tersebut dapat didukung dengan regulasi yang memadai termasuk hak serta kesejahteraan bagi para perawat dan tenaga kesehatan.