JAKARTA, Pilarnesia.com — Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko adalah sosok yang belum siap hidup di negara demokrasi. Moeldoko tidak siap dengan berisiknya alam demokrasi akibat perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa.
Begitu kata pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga, Senin (12/7)
Menurut Jamiluddin Ritonga, Stigma negatif seharusnya tidak keluar dari Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Stigma itu terkait statement agar tak menjadi lalat-lalat politik yang mengganggu konsentrasi pemerintah menangani pandemi Covid-19.
“Itu tidak selayaknya keluar dari Moeldoko,” terang pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga, Senin (12/7)
Jamiluddin Ritonga melihat, ada kesan pihak-pihak yang mengkritik kebijakan penanganan Covid-19 dinilai sebagai pengganggu. Padahal kritik itu bagian dari kebebasan berpendapat.
“Karena itu, sangat naif bila para pengkritik diberi stigma lalat politik,” ujar Jamiluddin Ritonga.
Karena itu dalam pandangannya, Moeldoko sosok yang belum siap hidup di negara demokrasi. Moeldoko tidak siap dengan berisiknya alam demokrasi akibat perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa.
Ketidaksiapan itu makin terlihat ketika Moeldoko menyatakan pemerintah tidak anti kritik, tapi kritiklah solusinya.
“Ungkapan seperti ini sangat lazim di negara otoriter, seperti yang sering ditemui di era Orba,” sebutnya.
Di era Orde Baru, pemerintah selalu mengatakan lakukan kritik yang konstruktif. Kritik semacam ini sama saja kritik yang meminta solusi.
“Jadi, Moeldoko tampaknya pejabat yang belum siap hidup di negara demokrasi. Baginya kritik itu seolah lalat yang mengganggu kekuasaan,” demikian Jamiluddin Ritonga dilansir dari RMOLID.