JAKARTA, Pilarnesia.com — Munculnya nama-nama figur Calon Presiden (Capres) 2024 beberapa hari ini baru sebatas dinamika dan “pemanasan” politik.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Matapena Institute Suraji PhD dalam diskusi “Peta Politik Figur Capres 2024” di Jakarta, Minggu (30/5).
Menurutnya, figur-figur yang muncul baik dari hasil survei lembaga maupun sinyal dari partai politik tak bisa diabaikan. Hal itu bisa digunakan untuk melihat potensi, kekuatan dan elektibilitas figur sehingga dapat menjadi pertimbangan partai politik dan masyarakat.
“Saya melihat sudah mulai ada dinamika politik pencapresan. Anggap saja ini pemanasan sekaligus untuk melihat siapa yang memiliki elektibilitas tertinggi,” ujar Suraji.
Selain itu, kata dosen s2/S3 Administrasi Publik Universitas Hang Tuah Surabaya ini, munculnya nama-nama figur capres juga baik untuk masyarakat agar mengetahui lebih cepat sehingga tidak seperti pepatah ‘beli kucing dalam karung.
“Menurut saya, lebih cepat lebih bagus sehingga tidak seperti beli kucing dalam karung,” ujar Suraji.
Dari pengamatannya, berbagai lembaga survei telah berhasil mengumpulkan nama-nama figur capres pilihan masyarakat. Meski antarlembaga survei terdapat perbedaan angka elektibilitas masing-masing figur, namun sejumlah nama sudah dapat diketahui.
Suraji menyebut kategori figur capres yang memiliki partai dan berkuasa di partai seperti Prabowo Subianto (Partai Gerindra), Puan Maharani (PDI Perjuangan), Airlangga Hartarto (Partai Golkar), Muhaimin Iskandar (PKB), Agus Harimurti Yudhoyono (Partai Demokrat), Surya Paloh (Partai Nasdem), Zulkifli Hasan (PAN), dan Amien Rais (Partai Ummat).
“Mereka ini di partai berkuasa. Tandatangannya sangat menentukan bisa tidaknya orang maju jadi capres,” kata Sekjen Perkumpulan YAKIIN yang juga TA DPR RI ini.
Di sisi lain, lanjutnya, ada orang partai dan jabatannya tinggi tapi tidak ‘berkuasa’ di partai meski pun elektibilitasnya tinggi, misalnya Sandiaga Uno (Partai Gerindra),
Ganjar Pranowi dan Tri Rismaharini (PDI Perjuangan), serta Bambang Susatyo (Partai Golkar).
Ada lagi yang memiliki potensi dan elektibilitas tinggi tapi tak punya partai. Suraji menyebut ada nama Mahfudh MD, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Khofifah Indarparawangsa dan Sri Mulyani.
“Banyaknya nama-nama figur menunjukkan kehidupan demokrasi kita tumbuh dan berkembang sehat. Inilah dinamaka politik yang baik,” tambahnya.
Mengenai perbedaan angka elektibilitas nama figur hasil survei dari setiap lembaa survei, menurut Suraji ada hal yang wajar. Sebab survei yang dilakukan juga terjadi perbedaan lokasi dan kondisi masyarakat.
Suraji menyebut bahwa lembaga survei yang dimilikinya, Matapena Institute, yang punya pengalaman survei pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah juga kadang berbeda hasil angka survei figur dengan lembaga lain, meski hanya berbeda tipis.
“Yang penting lembaga survei harus independen, tak memiliki kepentingan dengan nama figur, dan metode survei harus ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Suraji.
Ia mengatakan, sejumlah syarat pada partai yang ingin berkoalisi pada Pilpres 2024. Pertama, memenuhi syarat administrasi pencalonan, yaitu presidential threshold 20 persen. Kedua, tentu kesesuaian dengan visi yang diusung. Ketiga, kesamaan pandangan terhadap figur yang diusung.
“Syarat ketiga selalu menjadi permasalahan dalam membangun koalisi. Jadi administrasi terpenuhi, secara visi satu, lalu figur. Biasanya masalahnya itu di figur,” ujar dia.