JAKARTA, Pilarnesia.com — Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra meminta pemerintah mempertimbangkan menguji vaksin virus corona (Covid-19) kepada masyarakat dari beberapa wilayah Indonesia sebelum digunakan secara massal.
Menurut Hermawan, berdasarkan penelitian beberapa ahli genetika populasi, setiap manusia dari berbagai etnis dan negara memiliki tingkat kekebalan tubuh atau imunitas yang berbeda-beda.
“Ada hal-hal berkaitan dengan kondisi geografi dan demografi memang dalam vaksin. Jadi bisa jadi kandidat vaksin dari luar tidak efektif, artinya memang perlu dilakukan proses hati-hati, juga di Indonesia,” kata Hermawan, Senin (26/10).
Hermawan lantas menyoroti salah satu kandidat vaksin Covid-19, AstraZeneca yang menyatakan tak bertanggung jawab apabila terjadi kegagalan vaksin. Menurutnya, hal tersebut merupakan secuil bukti uji klinis terhadap populasi setiap negara sangat vital.
“Karena tidak ada jaminan pertanggungjawaban itu kan menunjukkan bahwa AstraZeneca tahu uji klinis vaksin tidak dilakukan di Indonesia,” ujarnya.
Hermawan meminta proses pengadaan vaksin ini tak dilakukan terburu-buru. Ia menyatakan perlu kajian mendalam terkait kelayakan dan keamanan vaksin, seperti tidak adanya Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) atau efek samping yang berat dan serius usai pemberian vaksin.
Menurut Hermawan, pengadaan jajaran kandidat vaksin dari luar negeri pun harus dipikirkan matang-matang sebab dikhawatirkan tidak efektif atau bahkan memiliki efek samping pada populasi Indonesia.
Apalagi setelah Platform bank data virus influenza di dunia, GISAID telah mengidentifikasi terdapat tujuh strain virus corona SARS-CoV-2 di dunia. Banyaknya strain itu menandakan bahwa virus SARS-CoV-2 mengalami perubahan genetik sejak pertama kali diidentifikasi di Wuhan, China
“Nah, apakah mutasi genetika mampu dilakukan semacam pengendalian melalui vaksinasi perlu juga diuji klinis,” katanya.
Hermawan paham pemerintah tengah berupaya mencari jalan keluar dari lingkaran pandemi ini, namun proses ilmiah dan tingkat efikasi vaksin harus menjadi prioritas dan perhatian serius pemerintah. Secara ilmiah dalam keadaan normal, pengadaan vaksin baru dapat terwujud dalam periode 4-7 tahun.
IAKMI, menurut Hermawan, memprediksi secara teoritis dan kajian ilmiah vaksin paling cepat dapat digunakan pada pertengahan bulan tahun depan atau Juni 2021.
“Tidak bisa dalam keadaan darurat mengabaikan prosedur ilmiah. Kalau gambling kan risiko, jadi itu sangat sulit kalau kita membayangkan dampaknya bila terjadi efek dengan alasan emergency itu,” jelasnya.
Alih-alih terlalu fokus terhadap pengadaan vaksin, kata Hermawan, pemerintah sebaiknya menggenjot upaya surveillance 3T yang meliputi testing, tracing, dan treatment.
Selain itu, pemerintah juga harus memberikan informasi sejelas-jelasnya dan tanpa ditutup-tutupi terkait perkembangan pengadaan vaksin Covid-19.
“Seharusnya fokus program kita ada di perilaku dan kebijakan pemerintah. Vaksin itu harapan, tapi buru-buru vaksin tanpa melihat efek jauh lebih berbahaya,” ujarnya.
Desakan penundaan vaksin Covid-19 mulai mengemuka dari berbagai organisasi profesi kedokteran seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Mereka meminta pemerintah agar tidak terburu-buru dalam melakukan vaksinasi covid-19 massal terhadap rakyat Indonesia.
Terdapat beberapa pertimbangan seperti keamanan, imunogenitas, dan efektivitas vaksin, yang harus dijamin negara sehingga mampu memberikan rasa aman di tengah masyarakat.
Sebelumnya, pemerintah mengklaim bakal mendatangkan sejumlah vaksin dari perusahaan asing, seperti Cansino, G42 atau Sinopharm, dan Sinovac pada November mendatang.
Sinovac sendiri sudah menyelesaikan uji klinis fase akhir di beberapa negara termasuk Brasil dan China. Di Indonesia uji klinis tahap akhir selesai pada Desember 2020.
Sedangkan Sinopharm sudah menyelesaikan uji klinis tahap akhir di Uni Emirat Arab (UEA) dan Turki. Adapun CanSino sudah selesaikan uji klinis tahap akhir di Kanada, China, dan Arab Saudi.