Jakarta, Pilarnesia.com–Tuntutan sekolompok mahasiwa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang mengatasnamakan BEM Se Indonesia agar Pemerintah membebaskan Uang Kuliah Tunggal (UKT) menarik untuk dicermati. Berita tersebut sempat trending di Twitter. Sepintas, tuntutan mereka agar UKT digratiskan menarik dan menggiurkan, akan tetapi jika dipikirkan dengan matang maka hal tersebut adalah tuntutan yang sulit untuk direalisasikan. Saya menyebutnya Utopia. Utopia berarti khayali, tidak memungkinkan terjadi di dunia nyata. Saya sebut demikian karena keadaan negara kita saat ini belum memungkinkan melakukan hal dimaksud. Jika ini dilakukan akan menimbulkan tidak saja kesenjangan yang luar biasa antara PTN dan PTS, tapi juga harus mengubah skema desain wajib belajar.
Kenapa saya katakan jika UKT dibebaskan maka akan menimbulkan kesenjangan antara PTN dan PTS? Sebab selama ini, Negara telah mensubsidi PTN; baik ketenagaannya maupun operasionalnya. Hal ini berbeda dengan PTS yang harus melakukan swa-biaya.
Sebagaimana diketahui bahwa UKT adalah sebuah upaya pemerintah untuk menindaklanjuti nilai pada sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam bidang pendidikan. Latar belakang Filosofisnya agar semua rakyat Indonesia dapat berkuliah. Mereka yang mampu bayar lebih mahal akan membayar lebih mahal, yang tidak terlalu mampu dapat membayar lebih rendah, dan yang tidak mampu bisa dapat beasiswa melalui program Bidikmisi atau program lainnya. Maka dari hal itu, biaya UKT per mahasiwa tidak harus sama karena adil tak harus sama, bukan?
Dalam kebijakan UKT, dibuat beberapa klasifikasi besaran pembayaran. Tujuannya adalah agar tiap mahasiswa yang menempuh pendidikan tinggi mendapatkan keadilan. Contohnya apabila mahasiswa digolongkan sebagai kalangan yang tidak mampu secara ekonomi maka ia akan ditempatkan pada golongan UKT 1 ataupun UKT 2 yang relatif lebih murah dari golongan di atasnya. Cara penentuan golongannya itu seperti apa? Yaitu dengan hitungan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dikurangi Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BKT adalah total biaya keseluruhan yang dibutuhkan oleh pihak universitas untuk menyelenggarakan pendidikan di unit lembaganya. Hitungan ini berlaku selama satu semester dalam berbagai macam program studi atau jurusan. Berdasarkan hal ini maka bisa jadi setiap program studi memiliki BKT yang berbeda-beda, Setelah dihitung biaya kebutuhannya pada masing-masing perguruan tinggi lalu pemerintah memberikan BOPTN. Nah, setelah BKT dikurangi BOPTN maka didapatlah besaran UKT yang akan dibebankan kepada para mahasiswa.
UKT sendiri ditetapkan berdasarkan filosofi keadilan serta penyederhanaan biaya kuliah mahasiswa. Sebelum UKT ini diberlakukan, sering kali mahasiswa harus dibebani dengan biaya lain-lain yang tidak terduga seperti uang praktik dan sebagainya. Oleh karena itu jika sistem UKT diterapkan maka pihak perguruan tinggi negeri tidak boleh menarik biaya kuliah kembali dalam bentuk apapun. Jika UKT ditiadakan, maka pertanyaannya, bagaimana perguruan tinggi negeri akan membiayai kehidupan akademiknya? Secara perlahan ia akan bangkrut kecuali memperoleh subsidi penuh dari negara atau donatur lainnya. Akankah hal tersebut mungkin terjadi? Jika mengandalkan negara maka harus dilihat dulu struktur APBN-nya serta pengalokasiannya.
Dengan melihat dua hal tersebut maka usul di atas tidak mungkin dilakukan. Dengan kondisi saat ini, pendidikan sudah menyedot 20 persen dari alokasi APBN kita. Alokasi tersebut harus dibagi kepada semua tingkatan pendidikan mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. Jika ingin menaikkan anggaran maka pemerintah harus bersidang dahulu tentang anggaran pendidikan. Jika menggunakan skema donatur non negara, hal tersebut tergantung kepada kemampuan donatur dimaksud. Donatur perorangan biasanya memiliki limitasi yang lebih kecil dibanding negara.
Lalu bagaimana halnya jika negara mampu membiayai dengan mengubah skema pembiayaan negara. Anggaplah negara menyubsidi total seluruh PTN di Indonesia, maka bagaimana dengan nasib Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang harus berjuang sendirian. Padahal dari total 4.504 unit,PTS mencapai 3.316 unit, sedangkan PTN hanya berjumlah 122 sisanya perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi di bawah lembaga negara. Di banding mensubsisi total PTN yang ada, maka akan lebih bermanfaat untuk ikut mensubsidi anak bangsa yang jumlahnya lebib banyak yang tersebar di ribuan PTS tersebut.
Hal lain yang juga membuat usul di atas mustahi untuk dilakukan karena pendidikan tinggi bukan masuk dalam ranah wajib belajar bagi masyarakat Indonesia. Wajib belajar di negara kita hanya 12 tahun dari sebelumnya hanya sembilan tahun. Itupun sampai saat ini pemerintah belum bisa memenuhi keseluruhan biaya bagi anak bangsa terutama di tingkatan SMA. Jangankan yang di swasta, yang di negeri pun masih belum. Program wajib belajar yang semestinya telah harus dipenuhi oleh pemerintah saja belum bisa terwujud, lalu pemerintah menggratiskan biaya di tingkat pendidikan yang belum menjadi kewajiban. Melihat realita ini, apa yang diinginkan oleh mahasiswa adalah dispensasi pembayaran berupa potongan biaya belajar atau relaksasi pembayaran. Relaksasi misalnya bisa menggunakan penggeseran skema kelompok UKT.
Kemendikbud Berbuat Apa?
Kementerian Pendidikandan Kebudayaan sebagai pemangku perguruan tinggi di Indonesia saat ini telah mengeluarkan tiga kebijakan dukung mahasiswa dan sekolah terdampak covid-19 dalam Siaran Pers Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 142/sipers/A6/VI/2020. Kebijakan tersebut terdiri dari: kebijakan penyesuaian UKT; Kebijakan panduan pandemik bagi mahasiswa; dan Kebijakan BOS afirmasi dan BOS Kinerja. Rinciannya adalah penyesuaian UKT diberikan bagi mahasiswa PTN yang tengah menghadapi kendala finansial selama pandemi. Kebijakan ini terdapat empat arahan dari Kemendikbud, yaitu: UKT dapat disesuaikan untuk mahasiswa yang keluarganya mengalami kendala financial akibat pandemic Covid-19; Mahasiswa tidak wajib membayar UKT jika sedang cuti kuliah atau tidak mengambil Satuan Kredit Semester (SKS) sama sekali; Pemimpin perguruan tinggi dapat memberikan keringanan UKT dan/atau memberlakukan UKT baru terhadap mahasiswa; Mahasiswa akhir kuliah membayar paling tinggi 50% UKT jika mengambil ≤6 SKS (semester 9 bagi mahasiswa program sarjana dan sarjana terapan (S1, D4) dan semester 7 bagi mahasiswa program diploma (D3). (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020)
Melalui kebijakan ini diharapkan mahasiswa mendapatkan berbagai manfaat. Yaitu, keberlanjutan kuliah mereka tidak terganggu selama pandemi, hemat biaya saat tidak menikmati fasilitas dan layanan kampus, fleksibilitas untuk mengajukan keringanan UKT, dan penghematan di masa akhir kuliah sehigga dapat terhindar dri drop out di saat krusial. Dengan begitu sebenarnya apa yang diinginkan oleh para mahasiswa PTN di atas telah dilakukan oleh Pemerintah andai saja teman-teman mahasiswa bisa melihat datanya terlebih dahulu sebelum bergerak.
Selain hal-hal di atas, terdapat pula bantuaan kepada para mahasiswa sebagai penerima bantuan yang diberikan kepada 410.000 mahasiwa dengan pengutamaan di luar 467.000 mahasiswa yang menerima Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin dan Kartu Indonesia Pintar Kuliah. Hal ini diberikan kepada mereka yang tidak sanggup membayar UKT karena kendala finansial yang tak terhindarkan pada orang tua mereka pada masa pandemi ini. Dan ini program ini diberikan tidak saja kepada mereka yang berada di PTN tapi juga PTS di seluruh Indonesia.
Kebijakan yang diambil oleh kemendikbud tersebut adalah upaya rasional sebagai bentuk kehadiran negara di tengah pandemi ini. Semoga kedepannya berbagai persoalan krusial yang muncul dapat segera bisa diatasi atau setidaknya diminimalisir. Juga, dari pihak kementerian ristek dikti bisa melakukan evaluasi secara maksimal terkait pelaksanaan sistem UKT di Perguruan Tinggi Negeri.
Moh. Shofan Direktur Riset Maarif Institut