JAKARTA, Pilarnusantara.id — Langkah pemerintah yang menetapkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai tidak tepat. Apalagi, kenaikan iuran dilakukan saat masa pandemi Covid-19 belum berakhir.
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra, Heri Gunawan angkat bicara tentang Presiden Joko Widodo yang menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 64 tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020) dan diundangkan oleh Menkum HAM Yasonna H. Laoly pada Rabu (6/5/2020). Aturan itu mengatur tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 1 Juli 2020 nanti.
“Kenaikan iuran BPJS (Kesehatan) di tengah COVID-19 sangat tidak tepat,” ujarnya dalam keterangan yang diterima pilarnusantara.id Kamis (14/5).
Ia mengaku punya tiga alasan sehingga dia berani menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak tepat. Yang pertama yakni kondisi ekonomi masyarakat tengah terpuruk akibat dampak Covid-19.
“Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020 hanya mencapai 2,97 persen. Itu artinya, rakyat mengalami penurunan ekonomi yang sangat drastis,” jelasnya.
Yang kedua, lanjut Hergun kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga tidak sesuai dengan semangat pemerintah yang sedang menggenjot stimulus perekonomian nasional. Dimana di satu sisi pemerintah mengguyur masyarakat dengan berbagai program, seperti restrukturisasi kredit, insentif perpajakan dan bantuan sosial, namun di sisi lain tetap menaikkan pungutan yang memberatkan rakyat.
“Ini ibaratnya masuk kantong kanan keluar kantong kiri,” ketusnya.
Adapun alasan yang ketiga yakni pemerintah belum melaksanakan pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan Mahkamah Agung (MA) saat membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres tersebut mengatur tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan tahap pertama.
Perlu diketahui, Pepres 64/2020 mengatur tentang perubahan besaran iuran dan adanya bantuan iuran bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) oleh pemerintah. Peserta segmen PBPU dan BP disebut sebagai peserta mandiri.
Iuran BPJS yang akan naik pada 1 Juli 2020 yaitu, Pertama, peserta mandiri Kelas III membayar iuran sebesar Rp25.500 sedangkan pemerintah pusat menambahkan bantuan iuran Rp16.500 untuk setiap peserta mandiri, sehingga total iurannya menjadi Rp42 ribu.
Kedua, peserta mandiri Kelas II meningkat menjadi Rp100 ribu, dari saat ini sebesar Rp51 ribu. Lalu, Ayat 3 mengatur iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp150 ribu, dari saat ini Rp80 ribu.
Sementara peserta mandiri Kelas III sebelumnya iurannya dibayarkan oleh pemerintah daerah dengan besaran iuran Rp25.500. Namun nantinya besaran iuran Kelas III yang dibayarkan peserta mandiri dan pemerintah daerah akan meningkat pada 2021 menjadi Rp35 ribu. Jumlah itu belum termasuk iuran yang dibayarkan pemerintah pusat sebesar Rp7 ribu. Sehingga total iuran peserta mandiri per orang per bulannya tetap Rp42 ribu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan alasan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut. Dijelaskannya bahwa kenaikan iuran dilakukan untuk menjaga keberlanjutan dari program Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) BPJS Kesehatan.
Sekadar informasi, sebelum kenaikan Jilid II ini, pemerintah sempat menaikkan besaran iuran peserta mandiri pada 1 Januari 2020 berdasarkan Perpres No. 75 Tahun 2019. Namun, padaMaret 2020 Perpres tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung
Pertimbangan Mahkamah Agung membatalkan Perpres No. 75/2019 adalah :
- Ketidakseriusan Kementerian-kementerian terkait dalam berkoordinasi antara satu dengan yang lainnya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial ini;
- Ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional, karena hingga saat ini pun boleh jadi masyarakat belum mengetahui institusi apa itu;
- Adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS;
- Mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan, sehingga menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi.
Lebih lanjut Mahkamah Agung menegaskan bahwa kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2. Kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS tersebut haruslah dicarikan jalan keluar yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki kesalahan dan kecurangan yang telah terjadi tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan.
Pembiaran terhadap Kesalahan dan kecurangan (fraud) yang terjadi justru pada akhirnya akan merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama berupa kehendak politik (political will) dari Presiden beserta jajarannya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan niat baik (good will) dari masyarakat dan penyelenggara program jaminan sosial. Yaitu untuk bersama-sama memperbaiki akar persoalan yang ada, membenahi sistem sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan program jaminan kesehatan yang sedang berjalan. Agar tujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dapat terwujud.