JAKARTA – Agenda pemberantasan kasus korupsi di Provinsi Lampung baru sebatas slogan, meski pada awalnya mantan Kepala kejaksaan tinggi (Kajati) Syafrudin lantang menyatakan perang pada korupsi.
Namun sejumlah tunggakan perkara tindak pidana korupsi yang diwariskan kepada penggantinya yakni Susilo Yustinus, membuktikan Korps Adhyaksa cenderung bermasalah terhadap komitmen tersebut.
Kasus dugaan penyimpangan APBD 2015 dan penyalahgunaan wewenang yang disinyalir melibatkan Calon Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi, saat menjabat Sekretaris daerah Provinsi (Sekdaprov), salah satu perkara yang diwariskan mantan Kajati Syafrudin.
Sejak dilaporkan Masyarakat Transpransi Lampung (Matala) 2016 lalu ke Kejati Lampung, proses hukum yang dilakukan cenderung lamban.
Bahkan ada kesan Korps Adhyaksa tidak transparan pada media terkait penyelidikan kasus, meski telah masuk tahap penyidikan, Kejati Lampung sampai dengan saat ini, enggan menjelaskan pada awak media mengenai perkembangan kasus tersebut.
Akademisi Universitas Lampung, Yusdianto, menilai kurang transparannya penyidik terkait dugaan penyimpangan itu, justru akan menambah krisis kepercayaan publik terhadap komitmen Kejati Lampung dalam menuntaskan kasus korupsi.
“Seharusnya Kejati tidak menutup-nutupi persoalan itu, sudah semestinya penyidik transparan dan menjelaskan kepada publik tentang sudah sejauh mana perkembangannya. Sehingga tidak ada asumsi atau opini publik yang terbangun jika ada dugaan main antara penyidik dan pihak yang dilaporkan,” jelas kandidat Doktor Universitas Padjajaran ini.
Dia menegaskan, sebagai pengganti Syafrudin di Kejati Lampung, publik menaruh harapan besar pada Susilo Yustinus untuk menuntaskan kasus itu, lambannya penanganan perkara Arinal saat Syafrudin menjabat telah menimbulkan kecurigaan publik.
“Tentunya kita semua menaruh harapan besar terhadap Kajati yang baru, terutama komitmen untuk memerangi korupsi, akan tetapi jika perkara itu tetap saja lamban bahkan tidak lebih baik saat periode Kajati lama, niscaya akan semakin bertambah besar kecurigaan publik dan krisis kepercayaan pada Korps Adhyaksa terhadap komitmen menuntaskan kasus korupsi,” katanya.
Diketahui, berdasarkan perhitungan sementara Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung terhadap perkara dugaan korupsi Ketua DPD I Golkar Lampung itu, menemukan kerugian negara sebesar Rp480 juta.
Kerugian tersebut timbul dari selisih besaran honor yang diterima beberapa tim yang dibentuk untuk Perda dan evaluasi APBD.
Namun, kendati telah menghitung kerugian sementara secara internal, penyidik mengaku masih memperdalam unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang terjadi.
“Untuk sementara, kami telah menghitung kerugian negara secara internal dan telah kami dapat angkanya. Tinggal kami memperdalam unsur tindak pidananya saja,” kata sumber di Kejaksaan beberapa waktu lalu.
Jaksa itu juga mengaku, temuan tim penyidik juga telah dilaporkan ke Kajati.
“Sudah kami laporkan perkembanganya kepada pimpinan. Kami sedang memperdalamnya,” tegasnya singkat.
Terkait dugaan pelanggaran dalam pembuatan, penerbitan dan pelaksanaan Peraturan Gubernur (Pergub) yang menjadi dasar temuan kerugian, jaksa tersebut enggan berkomentar.
Namun ditegaskannya, bahwa keberlakuan Pergub tidak dapat berlaku surut.
“Ya yang jelas pergub itu tidak berlaku surut. Udah itu saja, saya sakin anda dapat menganalisanya,” tegasnya.
Perkara dugaan korupsi yang dilakukan Arinal Djunaidi saat menjabat Sekretaris Provinsi (sekprov) Lampung mencuat setelah dilaporkan Masyarakat Transparansi Lampung (MaTaLa) beberapa waktu lalu.
Dalam laporanya disebutkan, pada tahun 2015, gubernur menetapkan pedoman penyelenggara Pemda dalam melaksanakan anggaran yang dituangkan dalam Pergub No 72 Tahun 2014 tertanggal 29 Desember 2014.
Dalam Pergub tersebut, telah diatur besaran honorarium tim.
Tapi kemudian tanggal 14 April 2015, Pergub tersebut dirubah dengan Pergub Nomor 24 Tahun 2015 yang isinya memfasilitasi besaran honor Tim Raperda, Rapergub, dan Tim Evaluasi Raperda APBD kabupaten/kota.
Keputusan Gubernur Nomor G/59/B.III/HK/2015 tentang Penetapan Besaran Honor dan Keputusan Gubernur Nomor G/292/BX/HK/2015 tentang Pembentukan Tim, menurut Matala, keduanya bertentangan dengan Pasal 1 Lampiran IV dan Pasal 5 Pergub Nomor 72 Tahun 2014.
Sekdaprov Merangkap Tenaga Ahli
Kemudian, nama Arinal di tahun 2015 juga muncul sebagai tenaga ahli, padahal saat itu dirinya masih menjabat sebagai Sekretaris Daerah Provinsi.
Menurut Akademisi Unila, Yusdianto, namaArinal sebagai Pembina ASN tertinggi di Lampung tidak dapat diikutsertakan dalam tenaga ahli.